Keduanyapernah sama-sama bekerja di majalah TEMPO. Tulisan itu kemudian terbit di edisi khusus majalah TEMPO dengan judul menggetarkan: “Di Kuil Penyiksaan Orde Sastradan Tanggung Jawabnya dalam Negara Orde Baru Yoseph Yapi Taum Bentuk-Bentuk Counter-Hegemoni Dalam Novel Kuil Di Dasar Laut Karya Seno Joko Suyono: Perspektif Antonio Gramsci semisal penyiksaan, perkosaan, aborsi, perceraian, dan sebagainya. Sinclair menyebutkan bahwa pernikahan dini dilakukan di NovelLaut Bercerita berlatar belakang sosial budaya dan peristiwa sejarah pada rentang tahun 1991-2000, berkisah tentang perjuangan aktivis mahasiswa bernama Biru Laut dalam Fast Money. Sore itu, saya memberanikan diri bertandang ke Rumah Bengawan Solo, usai mengikuti diskusi buku Laut Bercerita yang ditulis oleh Leila S Chudori. Sekedar informasi untuk Sahabat Boombastis Saboom, buku baru Leila S Chudori ini bercerita tentang carut-marut tragedi 1998—pemberontakan mahasiswa diikuti tragedi penculikan dan penghilangan paksa 9 dari 22 orang di antara mereka. Salah satu dari korban hilang bernama Petrus Bima Anugerah. Di ruang diskusi itulah saya pertama kali bertemu dengan orangtua korban penculikan 1998 tersebut di Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya Malang. Lalu saya bertanya, “apa boleh sowan ke rumah Bengawan Solo?” Mereka menyilakan saya dengan hangat. Dari sinilah saya mulai mengenal lebih dekat siapa Petrus Bima Anugerah dan keluarganya yang tetap setia menanti di Rumah Bengawan Solo selama 20 tahun. Mengenal Petrus Bima Anugerah Siapa Petrus Bima Anugerah? Pasti pertanyaan tersebut yang pertama kali terbersit di pikiran Saboom sekalian. Ia adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga Surabaya, angkatan 1993. Lahir di Malang, 24 September 1973, anak kedua dari empat bersaudara Dionysius Utomo Rahardjo dan Genoveva Misiati. Rumah Bengawan Solo Dia melakukan apa untuk Indonesia, kok kita harus mengenalnya? Ini pasti menjadi pertanyaan kedua Saboom sekalian. Jika saya menyebut Munir, kalian pasti sudah tahu lah ya bagaimana kisahnya. Ternyata, di balik Munir masih ada 22 aktivis pemberontakan rezim kejam Orde Baru yang menerima perlakuan tidak adil dan kekerasan. Mereka telah berjasa membuat Indonesia cukup aman dan bebas menyampaikan pendapat seperti saat ini. Mereka bukan hanya tak diadili rezim penguasa, bahkan hilang tanpa kabar sampai sekarang. Di Kuil Penyiksaan Orde Baru dan Laut Bercerita Merujuk artikel yang ditulis Nezar Patria, di majalah Tempo edisi khusus Soeharto berjudul Di Kuil Penyiksaan Orde Baru, tahun 1998 ia pindah dari Yogyakarta ke Rumah Susun Klender, Jakarta Timur bersama tiga orang teman, Aan Rusdiyanto, Mugiyanto, dan Petrus Bima Anugerah. Mereka anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi SMID. Bimo—panggilan akrab Petrus Bima Anugerah menjabat sebagai Koordinator Divisi Pendidikan, Agitasi, dan Propagada di SMID. Dionysius Utomo dan Laut Bercerita Novel Laut Bercerita karya Leila S Chudori mengambil kisah Bimo sebagai tokoh Biru Laut yang tak gentar melawan kekejian Orde Baru. Pemuda ini selalu saja rindu masakan rumah yaitu gulai tengkleng, yang belakangan diketahui sebenarnya sayur lodeh, ungkap Pak Tomo, ayahnya. Dalam novel tersebut dikisahkan dengan mendalam bagaimana mereka berempat diculik oleh Tim Mawar di bawah naungan Kopassus untuk disiksa dipukuli, dipaksa berbaring di balok es, serta disetrum sambil diinterogasi. Apa yang tertulis dalam novel persis dengan apa yang disampaikan Nezar Patria dalam artikelnya. Surat terakhir Bimo untuk keluarga di Rumah Bengawan Solo Dari awal saya menyebut Bengawan Solo, mungkin Saboom sekalian merujuk pada sungai terpanjang di Indonesia itu. Bukan, bukan, Bengawan Solo yang dimaksud adalah salah satu nama jalan di Malang, tempat tinggal Bimo. Rumah Bengawan Solo berada di pojokan gang kecil. Rumah mungil dengan papan nama D. Utomo, nomor 20. Saya disambut hangat dengan suguhan air putih yang menyegarkan tenggorokan ketika tercekat menyimak kesaksian demi kesaksian orangtua Bimo. Paduan kehangatan dan kesegaran yang bermakna. Surat Terakhir Petrus Bima Anugerah Pak Tomo membeberkan surat-surat Bimo, karikatur, serta potret terakhir yang tersimpan rapi di Rumah Bengawan Solo. Hal yang terasa paling ironis yaitu saat menyimak selembar surat terakhirnya, saya bilang, “mas Bimo detil sekali ya bu,” sebab di akhir tulisan tangan itu Bimpet berjanji akan pulang pada Paskah, April 1998. Ternyata setelah 20 tahun berlalu, keluarga Bimo tak pernah lagi merayakan Paskah dengan lengkap. Janji Jokowi saat kampanye Sebelum terdapuk sebagai presiden, Jokowi sempat mengundang Pak Tomo dan beberapa keluarga orang-orang yang dihilangkan secara paksa, tergabung dalam Ikatan Orang Hilang Indonesia IKOHI, untuk berdiskusi. Kala itu Pak Tomo hadir antara lain bersama Fitri Nganthi Wani—putri pertama Wiji Thukul yang juga korban penghilangan paksa pada era rezim Orde Baru. Mereka berpikir akan mendapat sedikit angin segar dari Jokowi. Apa Kabar Janji Jokowi Selayaknya politikus yang berjanji, Jokowi menyatakan akan mengulas kembali dan mencari korban hilang dalam kasus pelanggaran HAM ’65, ’78, serta ’98. “Simpelnya, orang hilang ya dicari, tapi enggak tahu bakal ditemukan atau tidak,” ungkap Pak Tomo pasrah. Beliau hampir selalu mendapat pertanyaan yang sama tanpa titik-terang. Menjelang masa akhir jabatan Jokowi ini pun, IKOHI belum mendapat kepastian atas janji empat tahun lalu. “Melawan Lupa,” pesan bagi kids zaman now terkait sejarah negara ini Sekarang kita bisa bebas berkomentar, menjadi netizen yang julita jaya dan maha benar, namun sadarkah kita berkat Bimo dan kawan-kawan hak tersebut bisa kita dapat. Maka dari itu, sudah menjadi kewajiban kids zaman now untuk melawan lupa dan lebih jauh mempelajari bagaimana Indonesia bisa mencapai kemudahan dan kebebasan seperti yang kita kecap sekarang. Bimo Petrus Belum Pulang Pak Tomo dengan rendah hati menyatakan banyak terima kasih pada penggiat media, serta Leila S Chudori khususnya yang telah melahirkan kisah bangsa Indonesia di tahun 1998. For your information, sebelum Laut Bercerita terbit, penulis asal Malang, Ratna Indraswari Ibrahim juga mengangkat kisah serupa dalam novel berjudul 1998. Hanya dengan membaca dan terus merawat memori tersebut, kids zaman now tentu tak segan bertindak jikalau kejadian tersebut terulang di Indonesia. Jangan sampai! Amit-amit, Saboom. Perjuangan keluarga Bimo di Rumah Bengawan Solo untuk menanti kehadiran putra mereka memang tak mudah. Tak sedikit dipandang sebelah mata oleh tetangga. Ibu Genoveva berpesan pada saya sebelum pamit, “yang kami butuhkan selama ini hanya satu, kepastian. Kalau memang masih ada sekarang ada di mana? Kalau memang sudah tidak ada, mbok yo dikasih tahu kapan dan kena apa, biar kita bisa mendoakan.” Hari ini, tepat 20 tahun yang lalu Bimo dinyatakan hilang, Rumah Bengawan Solo pun tetap merayakan Paskah, tanpa kehadirannya. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori mengisahkan tokoh Biru Laut, seorang mahasiswa Sastra Inggris UGM yang juga merupakan aktivis prodemokrasi yang tergabung dalam kelompok Winatra. Laut merupakan salah satu aktivis yang diculik dan "dihilangkan".Saking cintanya saya dengan novel ini, mulailah aksi stalking dan berseluncur di internet. Demi mendapat pencerahan atas banyaknya pertanyaan saya. Saya menemukan beberapa fakta yang tidak ternyata kisah dalam novel ini terinspirasi dari penculikan aktivis di pengujung masa orde baru. Dari penculikan yang diungkap, ada sembilan aktivis yang telah dibebaskan, satu aktivis ditemukan meninggal, dan tiga belas lainnya dinyatakan hilang dan belum ada kejelasan hingga kini. Kejadian-kejadian di novel ini ditulis berdasarkan kisah dari para aktivis yang selamat, keluarga korban yang ditinggalkan, dan pihak-pihak lain yang bersinggungan dengan tragedi kemanusiaan ini. Pantas saja, rentetan peristiwa di sini terasa begitu hidup dan nyata. Diskusi sembunyi-sembunyi, buku-buku yang dilarang, sampai aksi pengejaran mahasiswa oleh intel. Begitupun saat penculikan, mulai dari datangnya para aparat, proses penyiksaan dan interogasi, hingga pembebasan para aktivis diceritakan begitu yang nggak kalah menarik dari cerita ini adalah, saya jadi kepo abis sama tragedi penculikan aktivis itu. Seperti yang saya sebutkan diatas, banyak tokoh yang sebenarnya terinspirasi dari tokoh nyata. Penulis menyatakan, satu tokoh dalam novel ini merupakan gabungan dari dua atau tiga tokoh sekaligus. Tapi menurut saya, ada beberapa tokoh yang dominan dan bisa kita tebak siapa sebenarnya dia di dunia nyata. 1 Biru Laut. Tokohnya yang merupakan Sekjen Winatra dan penulis, sudah jelas mirip dengan Nezar Patria, salah satu korban penculikan yang selamat. Ia merupakan mahasiswa yang aktif menulis dan Sekjen Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi SMID, organisasi mahasiswa yang dilarang di masa orde baru. Kisah penculikan di rusun dan penyiksaannya juga menjadi rujukan kisah Nezar pernah bekerja di Tempo, dimana ia bekerja bersama Leila, dan diminta menceritakan kisah penculikannya nyaris tanpa sensor yang dimuat dengan judul "Di Kuil Penyiksaan Orde Baru".Jujur saja, keputusan Nezar untuk menjadi wartawan ini menurut saya sih keren. Tipe yang menghindari konfrontasi politik dan memilih jalan yang beraroma perjuangan. Kali ini, perjuangannya bukan dengan aksi, tapi menulis. 1 2 3 Lihat Humaniora Selengkapnya – Laut Bercerita merupakan sebuah novel karya Leila S. Chudori yang menceritakan kisah para aktivis di tahun 1998. Terinspirasi dari cerita kawannya, Nezar Patria, Leila akhirnya menjadikan kisah kawannya tersebut menjadi sebuah novel fiksi. Novel ini berawal dari tulisan sebuah majalah di Tempo edisi khusus Soeharto yang berjudul “Di Kuil Penyiksaan Orde Baru”. Dalam tulisan tersebut Leila mewawancarai Nezar Patria yang merupakan aktivis korban penculikan 1998. Di tahun 1997, Nezar Patria juga menjadi salah satu aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi yang selamat dari penyekapan orde baru. Dari sana, Leila menelusuri kisah para aktivis korban penculikan lainnya lalu menuangkannya menjadi sebuah novel yang berjudul Laut Bercerita. Leila menggambarkan sosok Biru Laut yang merupakan pemeran utama dari novel tersebut. Berlatar belakang di masa Orde Baru, Biru Laut digambarkan sebagai tokoh sentral, yang tidak hanya hadir sebagai seorang aktivis namun, Leila juga menggambarkan sosok Laut sebagai seorang teman, sahabat, kekasih, sebagai kakak, dan seorang anak. “Jadi dalam tokoh itu Biru Laut ada macem-macem orang, banyak sekali sumbangan dalam tokoh itu. Termasuk saya sendiri juga ada di dalam situ kalau berbicara makanan," ucap Leila dalam acara Diskusi dan Nobar Laut Bercerita. Di samping itu, Leila juga menuliskan kisah para keluarga korban yang merasakan kekosongan juga kebingungan saat salah satu anggota keluarganya hilang tanpa ada kabar maupun kepastian. Apakah mereka masih hidup atau tidak? Dan jika masih hidup, di manakah keberadaan mereka? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus menghantui hati para keluarga korban. Selain itu, novel ini juga dibumbui dengan kisah romansa antara Biru Laut dengan kekasihnya, Ratih Anjani. Kehidupan keluarga Biru Laut digambarkan sebagai keluarga yang harmonis dan hangat. Kedekatan Biru Laut dan adiknya, Asmarajati menjadi kunci jalannya kisah novel Laut Bercerita. Pada tahun 2017, novel karya Leila S. Chudori ini diproduksi menjadi sebuah film pendek. Dengan berdurasi 30 menit, film pendek ini diperankan oleh Reza Rahardian sebagai tokoh pemeran utama, Biru Laut, dan Dian Sastrowardoyo sebagai kekasih Biru Laut, Ratih Anjani. Dalam acara Diskusi dan Nobar Laut Bercerita, Gita Fara, selaku produser film pendek ini mengungkapkan bahwa persiapan yang dilakukan oleh tim produksi memakan waktu selama tiga bulan, “Di tahun 2017 kita syuting, dan persiapannya kita memakan waktu sekitar tiga bulan," kata Gita. Sementara itu, dalam melakukan persiapan tim produksi juga melakukan riset terhadap bentuk juga suasana penjara bawah tanah tempat para aktivis disekap, “Kita melakukan riset, seperti apa sih penjaranya. Tapi risetnya tuh berdasarkan ceritanya mbak Leila,” tambah Gita, Sutradara film pendek Laut Bercerita. Jika ditilik lebih dalam, kisah di novel fiksi ini menjadi pengingat sebuah peristiwa yang telah terjadi di masa lalu, yang belum pernah diungkapkan dan diceritakan dalam beberapa mata pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Melalui karyanya, Leila S. Chudori menyampaikan bahwa perjalanan panjang para pendahulu di masa lalu harus mempertarungkan nyawa dan bahkan dihilangkan demi mencapai masa depan yang dapat kita rasakan seperti sekarang. Novel Laut Bercerita juga menjadi sebuah peringatan kepada pemerintah untuk bertanggung jawab terhadap hilangnya para aktivis saat itu yang hingga kini belum terpecahkan dan masih menjadi misteri. Dian Sastrowardoyo mengatakan, bahwa kisah dalam novel ini dapat menguras emosi yang dalam, “Novel ini membolehkan kita untuk berempati terhadap keluarga yang kehilangan, tanpa kejelasan kemana mereka perginya dan di mana hilangnya.” Dian juga menambahkan, sebagai masyarakat yang kini dapat merasakan kebebasan, kita dapat melakukan kontribusi kepada keluarga korban, “Kalo kalian merasa berempati dan merasa harus ada yang kalian lakukan, kalian bisa ikut aksi kamisan yang setiap minggunya selalu dilakukan di depan Istana,” pungkasnya.

di kuil penyiksaan orde baru